Ganti Judul dan ALt sendiri

Haru Seru Romantika Kisah Anak Asrama Mahasiswa

 

Aku tak menyangka akan kehadiran  buku ini di hidupku. Buku yang bersinggungan erat dengan kehidupanku di masa lalu, saat masih menempuh pendidikan. Buku pertama kudapatkan melalui paket yang dikirimkan oleh temanku. Saat itu aku tidak bisa langsung membacanya, karena aku sedang di rumah orang tuaku untuk beberapa lama. Sampai kemudian suamiku membawakannya untukku, diantarkan ke desa tempatku merawat ibu yang sedang sakit.



Wah, aku dapet buku gratis nih. Ini buku antologi cerita anak asrama mahasiswa tempatku tinggal dulu saat kuliah. Sebenarnya sebelumnya aku sudah ditawari untuk ikut serta menyumbangkan tulisan dalam buku antologi tersebut. Tapi aku enggan, karena tidak ada ide mau menulis apa. Lagi pula aku tidak pandai menulis. Masa mau menyumbang tulisan untuk buku, kasihan editornya nanti harus ekstra mengedit naskah kirimanku

Mendapatkan buku tersebut, aku langsung tertarik membacanya. Kisah Sejuta Rasa: Awal Cerita Menggapai Mimpi aku mengangguk-angguk, hmm. Kutelusuri cover buku yang bergambar sebuah bangunan bertingkat yang jendela-jendelanya terbuka dan nampak sosok-sosok muslimah berjilbab menyembulkan kepala dari balik jendela sambil tersenyum. Eh, ada kucing yang ikutan juga. Wah ini gambaran anak Astri (Asrama Putri) banget. Sementara itu di depan bangunan nampak beberapa orang yang digambarkan sebagai anak Astra (Asrama Putra) yang tengah bersepeda sambil melambaikan tangan ke anak Astri. Ada juga anak Astra yang sedang pegang bola dengan kakinya, dan anak Astra sedang genjreng-genjreng main gitar. Kemudian tampak di wartel samping asrama ada Astra Astri yang lagi ngobrol. Ckck, sedemikian piawai si perancang cover menggambarkan cerita kami kala itu. Melihat sampul bukunya saja, memori masa laluku langsung terpanggil. Sepenggal kehidupan kami sebagai anak asrama 20 tahun lalu.

Di sampul depan, selain ilustrasi cover dan judul, di bagian bawah tertera Pengantar Oleh: Prof. Dr. Muhadjir Effendy, MAP. Siapakah gerangan? Saat aku baca isi pengantarnya, di bagian akhir ada keterangan di bawah nama beliau, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Di bawahnya tertulis Pembina Asrama periode 1983-1993. Wow, 10 tahun membina asrama. Dan bapak ini ternyata bapak menteri yang sedang menjabat saat ini. Oalaaah Pak, aku ga hafal nama-nama menteri. Dan baru tau juga kalau salah satunya ternyata mantan pembina asrama jaman dulu kala.



Kata pengantar yang disampaikan Bapak Muhadjir Effendy membuatku terharu. Di salah satu paragraf beliau menulis: “Buku ini mengisahkan romantika penghuni asrama dalam menjalani keseharian sebagai pejuang kehidupan. Berlari untuk menemukan jati diri juga mempersiapkan penyempurnaan pribadi bagian masyarakat dalam kehidupan nyata. Di akhir setiap cerita selalu kita akan menemukan pemahaman dan pemaknaan akan esensi pelajaran kehidupan”

Sungguh, sebagai mantan pembina asrama, terlihat beliau sangat memahami kami anak-anak asrama dengan segala romantika hidup di rantau bernaung di bawah atap asrama yang banyak peraturan.

Di halaman awal buku tertera nama teman sekamarku yang mengirimi buku ini sebagai editor. Ooh kamu editornya to. Kamu memang gesit dan multitasking. Padahal aku tau kamu sibuk sekali.

Di bagian daftar isi kulihat nama-nama siapa saja yang menjadi kontributor. Di antara 23 nama, sebagian besar aku mengenalnya. Aku makin bersemangat membacanya. Mungkin karena yang memprakarsai lahirnya buku ini adalah salah satunya teman editorku tadi, jadi kebanyakan yang berhasil dirayu untuk menjadi kontributor ya teman-teman seangkatan plus angkatan kakak adik tingkat yang pernah tinggal seatap.

Buku ini diterbitkan oleh Haura Publishing tahun 2021, dan sudah ber-ISBN. Baiklah, saatnya menelusuri cerita demi cerita dari buku yang sudah membuat perasaanku berbunga-bunga ini, seolah mendapat surat cinta saja.

Cerita teman-teman mengingatkanku akan kehidupan di asrama. Ada yang bercerita tentang awal mula terdampar di asrama, yang kebanyakan karena mencari murah dan fasilitas yang wah. Bagaimana tidak, saat itu biaya tinggal di asrama hanya Rp 125.000 per semester. Sementara harga kos rata-rata Rp 50.000 per bulan untuk sekamar dua orang. Aku termasuk yang mau tinggal di asrama karena alasan itu. Meski sekamar bertiga, tapi kamarnya luas, tempat tidur dan lemari gedhe, ada meja juga, tiap kamar ada teras plus tempat nanam-nanam dan jemuran handuk. Dan dengan bangunan berbentuk persegi, semua kamar menghadap taman yang besar di tengah yang akan membuat paru-paru penghuninya lega tanpa takut dengan ventilasi buruk. Ada makan pagi dan malam, seingatku per bulan membayar Rp 60.000.

Asrama mahasiswa universitas kami bukan sekedar tempat tinggal, tapi masuk dalam UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa. Jadi di dalamnya ada peraturan yang mengikat warganya, dan masa tinggal di sana dibatasi selama 2 tahun, kecuali yang menjadi pengurus bisa sampai berakhir masa kepengurusan. Untuk masuk asrama ada seleksinya. Yang paling menentukan adalah tes wawancara oleh pengurus. Biasanya pengurus lebih memprioritaskan anak-anak yang kelihatan tidak susah mengikuti peraturan.

Ada satu cerita teman asrama di buku ini yang memvalidasi rasa penasaranku saat tinggal di asrama. Aku pernah melihat beberapa botol bening bertuliskan vodka di salah satu sudut bangunan Astri. Aku bertanya pada mbak-mbak yang ada di sana, katanya itu punya Ceska, bule pertukaran pelajar asal Cokoslovakia yang “dititipkan” di Astri. Saat aku tinggal di sana dia sudah pindah. Rupanya salah satu penulis buku ini akrab dengan Ceska dan menceritakan kisahnya. Ada cerita kocak yang terjadi saat Ceska mencuci baju di Astri, dia terlihat aneh dan kagok saat harus duduk di dingklik atau kursi pendek untuk mencuci baju. Kakinya yang panjang membuatnya susah duduk dan malah terjengkang dan menjadi tertawaan temannya. Tapi dia tidak putus asa dan mencoba sampai bisa. Good job, Ceska!

Cerita yang berjudul Diary Kembar 100 mengingatkanku pada kegiatan piket belanja di Astri. Untuk memasak, sudah ada ibu masak yang memasakkan kami. Tetapi untuk menyusun menu, belanja, dan regulasi penyajian termasuk mengamankan sambal dari kerakusan pedes lovers itu tanggung jawab anak-anak pengurus. Setiap warga asrama mendapat piket belanja. Tiap hari habis shubuh ada 3 orang belanja bersama ke pasar naik angkot. Jadwalnya sudah diatur ibu RT masing-masing, menyesuaikan pas tidak ada jam kuliah pagi. Saat belanja kita sudah dibekali dengan shopping list yang harus dibeli. Jadi tinggal beli-beli. Karena belanjaannya banyak banget meski dibawa 3 orang masih keberatan. Maklum untuk makan 90an orang warga. Nah di pasar ada bapak penjual tempe yang siap membantu menampung belanjaan kami saat kami bagi tugas belanja sana-sini. Bapak tempe ini memanggil kami semua Astri. Pokoknya ada anak usia mahasiswa datang bertiga sambil clingak-clinguk langsung deh beliau sapa, Astri siniii....Dan di sana kami memborong tempe karena hampir tiap hari ada menu tempe dengan berbagai variasi olahannya. Maklum, tempe adalah menu murah meriah. Setelah itu kami nitip tempenya, lanjut bagi tugas belanja yang lain, tiap belanjaan ditaruh di bapak tempe sebagai base camp kami.

Yang kemudian ditulis temanku tentang bapak tempe membuatku tertegun. Bapak tempe memanggil kami semua Astri, dan kami memanggil atau menyebut bapaknya sebagai bapak tempe. Mengapa sampai kita semua sangat terkesan dengan kebaikan dan keramahan beliau di sepenggal episode singkat hari-hari sibuk kami yang banyak warna, tidak ada satu pun dari kami yang punya inisiatif untuk sekedar tau nama beliau dan di mana beliau tinggal. Mungkin hal remeh ya memikirkan itu di masa kuliah dulu. Tapi di masa dewasa menjelang tua kami semua, rasanya kesadaran untuk lebih mengenal orang-orang baik di sepanjang jalan kami itu terasa penting.

Semua cerita teman-teman di buku ini bukan saja membangkitkan ingatanku di masa itu, tapi lebih dari itu memberi energi positif dan semangat untuk menyambung kembali tali pertemanan kami.

Buku antologi ini rasanya beneran akan kubawa ke mana pun aku pindahan. Buku yang aku mengenal sebagian besar kontributornya, karena pernah berada dalam tempat dan waktu yang sama .Terkadang aku suka membolak-balik lagi buku ini, mengenang sosok teman-temanku yang telah banyak berubah menjadi seorang yang memberi manfaat besar bagi kehidupan. Meski sebagian mereka telah menjelajah jauh ke belahan bumi lain, tapi mereka terlihat masih sama, teman, mbak-mbak dan adek-adek yang ramah-, humble dan baik. Sebagian adalah sahabat baikku yang masih terhubung hingga kini. Aku berdoa semoga kalian semua selalu Istiqomah dalam hidayahNya dan mari bermimpi semoga kita bisa seatap lagi di keabadian surga. Aamiin.


Post a Comment

Ingin memberi tanggapan atau saran? Silahkan drop di comment box. Terima kasih!